Beranda | Artikel
Bulughul Maram - Shalat: Perdebatan Mengenai Hukum Sutrah, Wajib ataukah Sunnah
Selasa, 31 Agustus 2021

Apa hukum shalat menghadap sutrah, wajib ataukah sunnah? Manakah pendapat yang lebih kuat dari perselisihan atau perdebatan para ulama yang ada?

 

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat

بَابُ سُتْرَةِ اَلْمُصَلِّي

Bab Sutrah (Pembatas) bagi Orang yang Shalat

Hadits #230

وَعَنْ سَبْرَةَ بْنِ مَعْبَدٍ اَلْجُهَنِيِّ ( قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( { لِيَسْتَتِرْ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ وَلَوْ بِسَهْمٍ } أَخْرَجَهُ اَلْحَاكِمُ

Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya seseorang di antara kalian membuat batas pada waktu shalat meskipun hanya dengan anak panah.” (Dikeluarkan oleh Al-Hakim) [HR. Al-Hakim, 1:252; Ahmad, 24:57; Ibnu Abi Syaibah, 1:278; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 6542, dari jalur ‘Abdul Malik bin Ar-Rabii’ bin Sabrah, dari ayahnya, dari kakeknya. Lafaz hadits ini adalah dari Al-Hakim dari jalur ini. Akan tetapi, lafaz di kitab Bulughul Maram adalah lafaz dari Ibnu Abi Syaibah. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:405-406].

 

Faedah hadits

  1. Ukuran dari “sahm” adalah jarak antara ujung jari jempol dan jari telunjuk yang direnggangkan. Ukuran ini lebih pendek dari “mu’khiroh ar-rohli” (tiang atau sandaran di bagian belakang kendaraan).
  2. Hal ini menunjukkan bahwa sutrah itu sah menggunakan apa pun di depan orang yang shalat walaupun itu suatu yang pendek seperti anak panah.
  3. Kita barulah beralih pada sutrah seukuran anak panah jika memang tidak mendapati sutrah seukuran “mu’khiroh ar-rohli” (sekitar 30 cm).
  4. Ajaran Islam memberikan kelapangan dalam hal ukuran sutrah.
  5. Sebagian ulama menganggap bahwa mengambil sutrah untuk shalat itu wajib sebagaimana pendapat dari Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Ibnu Khuzaimah, dan Abu ‘Awanah. Pendapat ini beralasan dengan “fiil amr” (kata kerja perintah) yang digunakan dalam hadits yang memerintahkan untuk memakai sutrah bagi orang yang shalat.
  6. Menurut jumhur ulama, memakai sutrah bagi orang yang shalat tidaklah wajib, hukumnya sunnah.

Baca juga: Bulughul Maram tentang Permasalahan Sutrah

 

Alasan tidak wajibnya memakai sutrah bagi orang yang shalat

Pertama: Dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di tempat terbuka dan di hadapannya tidak ada sutrah.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى فِى فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَىْءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tempat terbuka dan di hadapannya tidak terdapat sesuatu pun.” (HR. Ahmad, 1:224. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 2:66 mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Al-Hajjaj bin ‘Arthoh dan ia adalah perawi yang dhaif. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam takhrijnya terhadap Musnad Ahmad, 1:224, mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain. Syaikh Ahmad Syakir dalam takhrij beliau terhadap Musnad Ahmad, 3:297, mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Kedua: Hadits dari Ibnu ‘Abbas yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap tembok di depannya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الاِحْتِلاَمَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَىْ بَعْضِ الصَّفِّ وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ ، فَدَخَلْتُ فِى الصَّفِّ ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَىَّ

“Aku pernah datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di Mina tanpa menghadap tembok. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada seorang pun yang menyalahkanku.” (HR. Bukhari, no. 76, 493 dan 861).

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud (إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ) adalah,

إِلَى غَيْر سُتْرَة قَالَهُ الشَّافِعِيّ

“Tanpa menghadap sutrah, sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i.” (Fath Al-Bari, 1:171)

Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hal ini dikuatkan dengan riwayat Al-Bazzar dengan lafaz,

وَالنَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْمَكْتُوبَة لَيْسَ لِشَيْءٍ يَسْتُرهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat wajib dan di hadapannya tidak ada sesuatu sebagai sutrah.” (Fath Al-Bari, 1:171)

Mengenai hadits di atas, Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan,

أن الإمام يجوز أن يصلى إلى غير سُترة

“Imam boleh shalat tanpa mengahadap sutrah.” (Syarh Al-Bukhari, Ibnu Baththal, Asy-Syamilah, 1:160)

Ketiga: Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَىْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ

Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasi dirinya agar tidak dilewati orang dan apabila ada yang tetap nekat melewati di hadapan ia shalat, maka hendaklah ia menolak (menghalanginya).” (HR. Bukhari, no. 509 dan Muslim, no. 505)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa kutipan hadits “Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasi dirinya agar tidak dilewati orang”, menunjukkan bahwa orang yang shalat kadang menghadap sutrah dan kadang pula tidak menghadapnya. Konteks kalimat semacam ini tidaklah menunjukkan bahwa setiap orang pasti shalat menghadap sutrah. Yang tepat, konteks kalimat ini menunjukkan bahwa sebagian orang ada yang shalat menghadap sutrah dan sebagian lainnya tidak menghadapnya. (Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’, 3:276)

Keempat: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah beralasan bahwa hukum memasang sutrah adalah sunnah karena hukum asalnya adalah baro-atudz dzimmah. Artinya, asalnya seseorang itu terlepas dari kewajiban sampai ada dalil tegas yang menyatakan wajib. (Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’, 3:277)

 

Kesimpulan Mengenai Hukum Sutrah

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan bahwa yang lebih kuat dari sisi pendalilan dari jumhur ulama adalah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yaitu memalingkan perintah wajib memakai sutrah bagi orang yang shalat ke hukum sunnah. Namun, yang lebih hati-hati adalah orang yang shalat hendaklah menghadap sutrah. Lihat penjelasan Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:405-409.

Baca juga: Hukum Shalat Menghadap Sutrah

 

Catatan tentang sutrah:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sutrah sesungguhnya hanya penyempurna shalat dan tidak mempengaruhi kesahan shalat. Sutrah pun bukan bagian dari rukun dan bukan pula syarat shalat sehingga dapat merusak shalat. Yang tepat, sutrah hanyalah penyempurna shalat sehingga ia bukanlah suatu yang wajib.” (Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’, 3:276)

 

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, Tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:405-409.
  • Tulisan Rumaysho: Hukum Shalat Menghadap Sutrah

 

22 Muharram 1443 H, 31 Agustus 2021

@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/29412-bulughul-maram-shalat-perdebatan-mengenai-hukum-sutrah-wajib-ataukah-sunnah.html